FIQIH MAWARIS
FIQIH
Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi waris.
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
[8] Fara' waris perempuan
adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki
adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
MAWARIS
Ahmad Sarwat, Lc
Daftar
Isi
Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat
serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para
shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum
dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil
dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para
ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang
menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak
pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat
menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu
pun ayat Al-Quran yang turun dari langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil
pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW, kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan
agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks
berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama
ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian
silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan
masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau
muamalah, nikah, waris, hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj
yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan
satu pendapat saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada
khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk
menampilkan juga hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan
kepada para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat
karena bukan sekedar dimengerti
isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya
ikhlas karena Allah SWT.
Al-Faqir
ilallah
Ahmad Sarwat, Lc
Urgensi dan Pensyariatan
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris
Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah
ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi
waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita
ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab
biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama,
setidaknya menjadi 'job' pak KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan
ini pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita
yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang
melatarbelakangi hal itu. Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim,
namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk
penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai
produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat
berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional,
atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim
yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari,
gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa
asing dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini
merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak
14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah
untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang
ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang
pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
عَنِ الأَعْرَجِ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ
العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah.
Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama
kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan
Al-Hakim)
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ
النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ
حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا
– رواه الحاكم
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan
meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada
dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang
bisa menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)[1]
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu
waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus
memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita
harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ
القُرْآنَ .
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata,
"Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". [2]
Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris
ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar
Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga
adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu
dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam
hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi
Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya
perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak
mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang
mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris
versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan
mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan
keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh
dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang
mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang
masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota
keluarga dari ilmu hukum waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga
yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita,
terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal
merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.
1.5. Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah
mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan
ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan
ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa
keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih
ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam
Al-Quran Al-Kariem.
وَمَن يَعْصِ
اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ
عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi
warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila
dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam
dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak
membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan
dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal
selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang
menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan
buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah
tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja
mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa
kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.
2. Pensyariatan
Ketentuan dan
kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah
dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di dalam
Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris
menurut hukum Islam. Khusus di surat
An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di
dalam surat
Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat waris
untuk anak
يُوصِيكُمُ
اللّهُ
فِي
أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta. (QS. An-Nisa' : 11)
b. Ayat waris
untuk orang tua
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ
فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا
Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris
buat suami dan istri
.وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ
يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)
d. Ayat waris
Kalalah
Kalalah adalah
seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki atau perempuan.
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
e. Ayat waris
Kalalah
Kalalah lainnya
adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara
perempuan.
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS.
An-Nisa' : 176)
وَأُوْلُواْ
الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Orang-orang yang
mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada
yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
2.2. Dalil Sunnah
Ada begitu banyak
dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di
antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ
فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
Dari Ibnu Abbas
radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ
زَيْدٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرَ وَلاَ الكَافِرُ
المُسْلِمَ
Dari Usamah bin zaid
radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim
tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan
dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali
An-Nasai)[3]
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَمْرو t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله r لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
Dari Abullah bin Amr
radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang
berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan
Ibnu Majah)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامِتِ t قَالَ أنَّ النَّبِيَّ r قَضَى لِلْجَدَّتَيْنِ مِنَ الِمْيراَثِ بِالسُّدُسِ
بَيْنَهُمَا
Dari Ubadah bin
As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua
orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan
Ibnu Majah)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
t قَضَى النَّبِيُّ r لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ وَلاِبْنَةِ الاِبْنِ السُّدُسُ
تَكْمِلَةً لِلثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلأُخْتِِ
Dari Ibnu Mas'ud
radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal
perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam
bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan
.(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)[4]
2.3. Dalil Ijma'
Para shahabat,
tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang pensyariatan
hukum waris ini.
Bab Kedua
Pengertian Waris
1. Definisi
1.1. Bahasa
Al-miirats (الميراث) dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non
harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda
Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
وَوَرِثَ
سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya."
(al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
العُلَمَاءُ
ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa
harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
2. Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah
yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah
dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan
saat membedakannya.
Tetapi akan
terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
|
|
Waktu
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Penerima
|
Ahli waris
|
ahli waris &
bukan ahli waris
|
bukan ahli waris
|
Nilai
|
Sesuai faraidh
|
Bebas
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
wajib
|
Sunnah
|
Sunnah
|
2.1. Waktu
Dari segi wattu,
harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan
berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal
dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu
meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta
itu.
Sedangkan hibah
dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya,
kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai
pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta
pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia
meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang berhak
menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris
dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan
washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat
harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah
menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat
jalur washiat.
Sedangkan
pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli
waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai,
harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana
ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh
yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris
dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari
yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat
jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan
besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total
harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum
sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela
kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal
yang diharamkan.
Bahkan apabila
terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal
muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan
memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah
hukumnya sunnah.
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas,
dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini
kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah
ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala
sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang
telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh
itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang
dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya
sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya
punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu
orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang
punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh
adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh
nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal
mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4
atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta
suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati
istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4,
tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami
mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami
mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris
yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (عصبة) berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang
diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena
harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris
yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen.
Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh.
Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau
jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli
waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari
ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut
mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya,
yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan
kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga
jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke
atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas
ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah
(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu)
dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak
laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk
juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists
maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak
tersebut ke bawahnya.
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl (الأصل) adalah ayah kandung dan ibu
kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek).
Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu
ash-shahih.
Bab Ketiga
Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya langsung dibagi
sebagai warisan. Ada
sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila
pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut
hukum waris.
1. Menetapkan Kepemilikan Harta
Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di
kitab-kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di negeri kita,
justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian warisan. Pertama yang
harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang merupakan harta almarhum
dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang
dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal
dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi
milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh
kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih tercampur hak
milik orang lain, diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun
usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan
tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan
harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup,
barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia.
Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada
hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja
peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak.
Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi
milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang
status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami
dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka
berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri
berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri
saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris,
karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan
anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut
adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam
pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak
punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki,
sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam
pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya
yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam
pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka
harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing
pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi
atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas,
bagi waris bisa dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada
kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan
kepada sang kakak.
Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang
pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih
di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak
dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status
sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik
mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka
tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya
sebagai jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa
sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah
dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan
hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu
pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak
meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa
lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta
setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar
30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat,
yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan
harta almarhum.
2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris
hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan.
Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang
dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya
memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit
sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini
ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan
keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris
ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak
dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan
terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga
ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan
Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan
pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut
merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah
meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus
disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan
oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut
dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan
sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih
hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini
tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib
untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama
saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini
merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena
itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun
tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan
dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan
menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya
saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan
dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada
sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara
bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak
melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika
memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta
tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun
penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil
untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan
kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda
Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke
baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu
banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan
kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan
kepada :
·
ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan
jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
·
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit
yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh
menerima bagian).
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan
daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang
hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh
karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah,
diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab
wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya
wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
Bab
Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak
terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan
al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits (المُوَرِّث) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang
memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang
meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang,
bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk
pewaris.
1.2. Al-Warits
Al-Warits (الوَارِث) sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka
yang berhak untuk menerima harta peninggalan,
karena adanya ikatan kekerabatan
(nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits (المَوْرُوث) adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,
tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami
meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan
mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami
itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena
bukan termasuk harta warisan.
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus
terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada
tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam
meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara
hakiki dan meninggal secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis
menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan
telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh
hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang
saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya
masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah
meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu
yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum
muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris
mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal
dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta
yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar
bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa
pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan
miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang
terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang
tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta
miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu
sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada
anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu
sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan
dengan surat resmi, si anak berhak melalukan
perubahan surat
kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah
berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah
dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si
anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk
menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang
tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan
jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu
namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak
tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah
SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu
dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu
harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan
setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan,
aturan pembagiannya telah baku
sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal
ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan
untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah
dia meninggal dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada
waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan
menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal
dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari
ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan
anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek
mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama,
dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup
agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan
melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para
ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau
kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup
telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab
dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak
mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di
antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih
hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan
seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan,
tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah
bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga
pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya
kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia
sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka
masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena
sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang
menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah,
ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya
seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal
dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang
telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si
kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak
tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i)
antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak
mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar
dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya
pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak
mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal
dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan
pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan
wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu
Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah
tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang
terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
Bab Kelima
Gugurnya Warisan
Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak
mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya
mendapat warisan, namun karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur.
Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan.
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan
Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada
tiga:
1.1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya
seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan
dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat
perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang
yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan
yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:
من تعجل بشيء عوقب بحرمانه
Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.
Ada perbedaan di
kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.
·
Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan
hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
·
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang
disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
·
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala
cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan
kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada
umumnya.
·
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain
itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
1.2. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi
oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi
satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia
tidak beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris,
tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta
warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw.
dalam sabdanya:
لاً يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ
المُسْلِمَ "
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat
imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam
Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada
pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh
mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan
mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada
yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi
sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari
Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan
bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad
tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak.
Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur
ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari
ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir.
Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara
muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat
saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi
sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan
kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar
ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih
(kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak
memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa
sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang
bertaraf nasional ataupun internasional.
1.3. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai
hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang
dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai
qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika
tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian
pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah
pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak
untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub
Ada perbedaan yang
sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang
membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada
baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari
ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda
agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub
adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang
lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya.
Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya
ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal
demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan
saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya
sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang
istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai
pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat
harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya,
yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai
'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan
ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris,
maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan
bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris.
Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu,
serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan
dikarenakan ter-mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat
dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
Bab Keenam
Penghalang Warisan (Al-Hujub)
1. Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
كَلاَّ
إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَّمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu
benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-Muthaffifin :
15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang
benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat
nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata
hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi
orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para penguasa atau
pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba
adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib
menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan
warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama
faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara
keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak
untuk menerimanya.
2. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi
(sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub
tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya
orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau
terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu
gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak
untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub
nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris
seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena
adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak
waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris
seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu
penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang
terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan
(anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari
seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia
faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang
dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai
dalam pengertian hujub nuQShan.
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli
waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang
yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah :
1.
Anak kandung laki-laki
2.
Anak kandung perempuan
3.
Ayah
4.
Ibu
5.
Suami
6.
Istri
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau
bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak
ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang wafat.
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Ada 16 orang yang
dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari
laki-laki dan lima
dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga terhalang
sehingga tidak mendapatkan warisan.
Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah
1. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai
haknya telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta waris terlebih
dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam
macam, yaitu :
§
setengah (1/2)
§
seperempat (1/4)
§
seperdelapan (1/8)
§
dua per tiga (2/3)
§
sepertiga (1/3)
§
seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa
saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia
terima.
2. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni
kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam
Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah
berikut:
قَالُواْ لَئِنْ
أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا
إِذًا لَّخَاسِرُونَ
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala,
sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah
orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan
'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian
'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para
fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan
tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki
seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat
dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan
ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli
waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah
ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak
mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an
yang dimaksud ialah :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua
(ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris
mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh
harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris
tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat
tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan
ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهَا وَلَدٌ
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa':
176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung.
Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan
bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak
mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha"
memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna
'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang
disabdakan Rasulullah saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR
Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar
memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah
diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata
yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata
"rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna
seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham,
jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur.
Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan
menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia
makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena
nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini
disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak
tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
§ 'ashabah bin
nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
§ 'ashabah bil
ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
§ 'ashabah ma'al
ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin
nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum
wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu, cicit, dan seterusnya.
2. Arah bapak,
mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki,
misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah saudara
laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak
laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung
laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang
laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah
disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman,
mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk
keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya
sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah
ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi
mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila
salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang
meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila
ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai
'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para
'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara
perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian
disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Bab Ketujuh
Para Ahli Waris
Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan
menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram atau struktur
keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara
satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi
'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak'
dari seseorang. Bahkan dia juga seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara',
'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah seterusnya.
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami
duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan
dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam
bahasa Indonesia sering
tidak baku.
Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um (أخ شقيق), sering kita terjemahkan menjadi saudara kandung. Sebagian
orang memahami istilah saudara kandung adalah saudara yang sama-sama satu
kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu adalah saudara
seibu (أخ لأم).
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia,
juga dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris,
yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan
identitas seorang ahli waris, agar tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan
ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang
yang terhijab oleh seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa
memastikan siapa saja dari mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat
bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-bagian
yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang ahli waris.
1. Anak Laki-laki (ابن)
Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur
keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak laki-laki sangat
berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain. Untuk seterusnya agar
memudahkan, kita tinggal menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak
laki-laki.
1.1. Bagian
þ
Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak
perempuan.
|
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena
mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang
ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil.
Bahkan bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum
tidak punya ahli waris lain selain anak laki-laki. Tetapi seorang anak
laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam
contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan
sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya
hanyalah seorang anak laki-laki tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu
mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang
mendapat semua sisa harta, yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris
dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Anak laki-laki
|
1/1
|
10 milyar
|
Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar,
tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki
semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata
kepada lima
orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Anak laki-laki 1
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 2
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 3
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 4
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 5
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 6
|
1/7
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 7
|
1/7
|
1 milyar
|
Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan
ahli waris seorang istri dan seorang anak laki-laki.
Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah
ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar. Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar,
menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak anak laki-laki adalah sisa
harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya
sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Istri
|
1/8
|
1 milyar
|
Anak laki-laki (ashabah)
|
7/8
|
7 milyar
|
Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat
beliau memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki. Bagaimana
penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki
adalah ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu
dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8 dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris
sama-sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
|
Istri
|
1/8
|
1/8
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 1
|
7/8
|
1/8
|
1 milyar
|
Anak laki-laki 2
|
1/8
|
1 milyar
|
|
Anak laki-laki 3
|
1/8
|
1 milyar
|
|
Anak laki-laki 4
|
1/8
|
1 milyar
|
|
Anak laki-laki 5
|
1/8
|
1 milyar
|
|
Anak laki-laki 6
|
1/8
|
1 milyar
|
|
Anak laki-laki 7
|
1/8
|
1 milyar
|
1.2. Menghijab
Ahli
Waris
|
§
id
|
§ saudara seayah-ibu
§ saudari seayah-ibu
§ saudara seayah
§ saudari seayah
§ keponakan : anak saudara
seayah-ibu
§ keponakan : anak saudara
seayah
§ paman : saudara ayah
seayah-ibu
§ paman : saudara ayah seayah
§ sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
§ sepupu : anak laki paman
seayah
§ cucu : anak laki dari anak
laki
§ cucu : anak wanita dari
anak laki
§ saudara & saudari seibu
|
§ 9
§ 10
§ 11
§ 12
§ 13
§ 14
§ 15
§ 16
§ 17
§ 18
§ 19
§ 20
§ 22
|
1.3. Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak
laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya yang langsung
berhubungan dengan muwarrits.
* * *
2. Anak Perempuan (بنت)
Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan
dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua,
karena posisinya yang sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan
anak lak-laki yang berada pada nomor urut satu.
2.1. Bagian
þ 1/2 = menjadi satu-satunya
anak almarhum
þ 2/3 = dua orang atau lebih
dan almarhum tak ada anak laki
þ ashabah = almarhum punya
anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki
|
Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam
menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta
warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia
tidak punya saudara satu pun baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.
وَإِن كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Dan apabila ia
(anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang
ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia
tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua.
Dan mereka semua akan mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian,
selama semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.
فَإِن كُنَّ
نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa':
11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak
laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan
semua saudara atau saudarinya dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang
diterima saudara laki-lakinya.
يُوصِيكُمُ
اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
2.2. Menghijab
o cucu : anak wanita dari
anak laki
o saudara & saudari seibu
|
20
22
|
Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara
atau saudari seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu-an almarhum, dengan syarat jumlah anak perempuan
itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu perempuan
sebagai ashabah bersamanya.
2.3. Dihijab Oleh :
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa
pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah
kandungnya sendiri.
* * *
3. Istri (زوجة)
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli
waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi
waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri,
tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.
3.1. Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4
atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris[5], maka hak istri
adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila
kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan
yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta
peninggalan suami.
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS.
An-Nisa': 12)
3.2. Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat
seseorang menjadi kehilangan haknya.
3.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang
pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak
dihijab oleh siapa pun.
* * *
4. Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi
ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi
waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami,
tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
4.1. Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4
sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat
A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara'
waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.
وَلَكُمْ نِصْفُ
مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari
harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang
mendapatkan warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan
istri.
فَإِن كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْنَ
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)
4.2. Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat
seseorang menjadi kehilangan haknya.
4.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang
pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak
dihijab oleh siapa pun.
* * *
5. Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki
atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja
syaratnya adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah
sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.
5.1. Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 = almarhum punya fara'
waris laki-laki
þ 1/6 + sisa = almarhum punya
fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara' waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang
meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki.
Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan[6] dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi
ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada
almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah.
Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana
disebut dalam dalil berikut :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih
bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah
juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi
ashabah, namun ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya,
dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul
furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris,
baik laki-laki atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya
dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung menyebutkan bahwa
ayah mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan
dari anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat ibu adalah 1/3.
Logikanya, kalau bagian itu ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti
diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang
ayah. Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah
1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian
menjadi hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.
5.2. Menghijab
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain,
selain anak laki-laki. Ada
12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena
keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
o kakek : ayahnya ayah
o Nenek : ibunya ayah
o saudara seayah-ibu
o saudari seayah-ibu
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o
7
o
8
o
9
o
10
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
5.3. Dihijab oleh
Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang
lain. Karena hubungan ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits adalah
hubungan langsung.
* * *
6. Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia.
Bila saat meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
6.1. Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 = almarhum punya fara'
waris
þ 1/3 = almarhum tidak punya
fara' waris
þ 1/3 dari sisa = bila
almarhum punya fara' waris (hanya dalam kasus umariyatain)
|
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang
wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila
anaknya tidak punya fara' waris.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya
dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para
ashabul furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan
hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di
zaman khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus
Umariyatain.[7]
6.2. Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak
ibu dan nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya
sendiri (21) dan ibu dari suaminya (8).
6.3. Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka posisinya tidak
akan terhijab oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan langsung tanpa
diselingi oleh orang lain.
* * *
7. Kakek (أب أب)
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek
yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan,
termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu
meninggal dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah)
terhijab, sehingga kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah
almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
7.1. Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
þ 1/6 = almarhum punya fara'
waris laki-laki
þ 1/6 + sisa = almarhum punya
fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara' waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang
meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu punya fara' waris
laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan[8] dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai
gantinya ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat
kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah
SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang kakek,
yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah
mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah,
setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara'
waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya
dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek
(ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud,
jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya
yang 3/4 bagian menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal
terlebih dahulu.
7.2. Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli
waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada
10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena
keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
o saudara seayah-ibu
o saudari seayah-ibu
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
o saudara/i yang hanya seibu
(rajih)
|
o
9
o
10
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
o
22
|
7.3. Dihijab oleh
Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang
lain, kecuali oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah anaknya sendiri.
* * *
8. Nenek (أم أب)
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.
8.1. Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian
warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.
8.2. Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun
8.3. Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
o ayah
o ibu
|
o
5
o
6
|
* * *
9. Saudara seayah-ibu (أخ شقيق)
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda
(adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa
mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah
saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan
istilah saudara seayah dan seibu.
9.1. Bagian
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah,
yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli
waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang
yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah
atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan
saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri
mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama
seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan
saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya
yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan
saudarinya mendapat 1/4.
9.2. Menghijab
o saudara seayah
o saudari seayah
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
9.3. Dihijab Oleh :
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Cucu laki-laki
|
o
1
o
5
o
7
o
19
|
* * *
10. Saudari seayah-ibu
Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan
posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
þ 1/2 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu
(9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka saudarinya
itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan
perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya
mendapat 1/3 bagian.
* * *
11. Saudara seayah (أخ لأب)
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda
(adik). Yang penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya
ayah yang sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana,
hubungan antara almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.
11.1. Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu
sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris
secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang
menghijabnya. Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek,
termasuk almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu. Saat itulah
saudara seayah baru kebagian jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan
saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat
1/4 dan saudara seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara perempuan yang juga
seayah, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari
saudari perempuannya itu.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan
saudara wanita seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4,
sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki mendapatkan
2/4 dan saudari perempuannya mendapat 1/4.
11.2. Menghijab
o keponakan : anak saudara
seayah-ibu
o keponakan : anak saudara
seayah
o paman : saudara ayah
seayah-ibu
o paman : saudara ayah seayah
o sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
o sepupu : anak laki paman
seayah
|
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
11.3. Dihijab Oleh :
o Anak laki-laki
o Ayah
o Ayahnya ayah (kakek)
o Saudara laki-laki seayah
seibu
o Saudara perempuan seayah
seibu *
o Cucu laki-laki
|
o
1
o
5
o
7
o
9
o
10
o
19
|
* * *
12. Saudari seayah (أخت لأب)
Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah
yang sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita
sebut saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan,
asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1. Bagian
þ 1/2 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah = almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu
(9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan
bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3
bagian.
13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu
14. Keponakan : anak saudara seayah
15. Paman : saudara ayah seayah-ibu
16. Paman : saudara ayah seayah
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu
18. Sepupu : anak laki paman seayah
19. Cucu Laki-laki (ابن ابن)
Cucu yang dimaksud
adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan
tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala almarhum
tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya
anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman,
maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
19.1. Bagian
Bagian yang menjadi
hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki. Karena
kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki.
þ
Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang
telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat
2 kali bagian cucu perempuan.
|
Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena
mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang
ada.
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat
meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu
laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh anak
perempuan. Anak perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah
ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti
sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah
7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan,
maka dia juga mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah
sisa itu dibagi rata di antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan
hanya mendapat setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata
lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak
perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
3/6
|
Cucu Laki-laki
|
Sisa = 1/2
|
2/6
|
Cucu Perempuan
|
1/6
|
19.2. Menghijab
Ahli
Waris
|
§
id
|
§ saudara seayah-ibu
§ saudari seayah-ibu
§ saudara seayah
§ saudari seayah
§ keponakan : anak saudara
seayah-ibu
§ keponakan : anak saudara
seayah
§ paman : saudara ayah
seayah-ibu
§ paman : saudara ayah seayah
§ sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
§ sepupu : anak laki paman
seayah
§ saudara & saudari seibu
|
§ 9
§ 10
§ 11
§ 12
§ 13
§ 14
§ 15
§ 16
§ 17
§ 18
§ 22
|
19.3. Dihijab oleh :
Satu-satunya pihak yang dapat menghijab cucu laki-laki
adalah anak laki-laki (1). Dalam kenyataannya, bisa saja cucu laki-laki
merupakan anak dari anak laki-laki, tapi bisa juga bukan anak tetapi keponakan.
Tapi intinya, selama almarhum masih punya anak laki-laki, cucu laki-laki akan
terhijab.
* * *
20. Cucu Perempuan
21. Nenek Dari Ibu
22. Saudara/i Seibu
Bab Kesebelas
Cara Membagi Warisan
1. Langkah Pertama
Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih
dahulu segala hal yang tekait dari harta almarhum yang meninggal. Diantaranya :
1.1. Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah harus dikeluarkan
terlebih dahulu dari harta yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang memberi
hutang itu menyatakan kerelaannya atas hutang-hutang itu.
1.2. Wasiat
Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas harta
yang dimilikinya, maka sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus dikeluarkan
terlebih dahulu. Dengan syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari
total hartanya. Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak boleh karena yang 2/3
itu adalah milik ahli waris.
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai
dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya memandikan, mengkafani,
menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan dari harta almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai
nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi
bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau apapun.
Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya
dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam besaran nominal. Meski
benda-benda itu tidak harus langsung dijual kepada pihak lain.
2. Langkah Kedua
Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli
waris dan memilahnya. Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk memisahkan siapa
saja yang berhak atas warisan dan siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling
tidak ada dua pemilahan.
2.1. Memilah
Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah
antara ahli waris yang sesungguhnya dengan yang bukan ahli waris. Boleh jadi
dalam persangkaan orang, ada individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah
dia mendapat warisan, tetapi ternyata secara daftar awal pun sudah bukan
termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan
suami, anak angkat, ayah atau ibu angkat dan lainnya, mereka semua sesungguhnya
tidak pernah terdaftar sebagai ahli waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak
sendiri, tapi secara hukum syariah tidak pernah mendapatkan harta lewat
warisan. Namun bila lewat jalan lain masih dimungkginkan. Misalnya lewat hibah
dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat. Demikian juga istri yang sudah
dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila sang suami wafat, maka mantan
istri itu sudah bukan lagi ahli waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang
telah diceraikan sebulan yang lalu, seorang istri yang masih sah dan seorang
istri yang telah diceraikannya secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara mereka
yang dapat warisan ?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri yang telah
diceraikan sebulan yang lalu dan istri yang masih sah. Sedangkan istri yang
telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak mendapat warisan. Karena hubungannya
dengan mantan istri itu sudah bukan istri lagi. Sedangkan yang baru diceraikan
1 bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran masa iddahnya belum berakhir.
Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah seorang wanita yang diceraikan suaminya
adalah 3 kali masa suci dari haidh.
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab
Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun
belum tentu dalam sebuah pembagian warisan dia pasti mendapat warisan. Sebab
bisa jadi hubungannya dengan almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak
boleh menerima warisan akibat adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris
dengan almarhum masih melewati ahli waris lainnya, maka bila ahli waris yang
yang ada diantara keduanya masih ada, maka ahli waris yang berada pada lapis
keduanya tidak akan mendapat warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin
terhalangi, bahkan untuk memudahkan mengingatnya, kita susun saja menjadi anak,
orang tua dan pasangan. Dengan rincian yaitu :
· anak baik laki
atau perempuan
· orang tua yaitu
ayah dan ibu
· pasangan yaitu
suami atau istri
Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan
mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan
paman yang merupakan saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi
dengan adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada.
Namun bila ayah tidak ada, paman mendapatkan warisan. Posisi paman
dalam hal ini sama dengan posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan
kakek masih ada, maka kakek mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya
ayah dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya
saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang
menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan
laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan
terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang
yang pasti mendapat warisan, baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai
ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman,
kakek, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan dan anak laki-laki.
Siapa diantara mereka yang mendapat warisan dan siapakah yang terhijab?
Jawab :
Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris, namun
ada beberapa mereka yang termahjub karena keberadaan ahli waris
lainnya. Yang memahjub anak laki-laki yang menghijab paman,
keponakan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Kakek terhijab oleh adanya
ayah. Sehingga yang menerima warisan hanyalah anak laki-laki, ayah, ibu saja.
3. Langkah Ketiga
Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah. Persoalan
pokok masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah
at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa gunanya?
Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk menemukan
nilai yang didapat oleh para ahli waris. Hal itu disebabkan Al-Quran dan
As-sunnah menyebutkan bilangan pecahan untuk menetapkan bagian yang didapat
oleh para ahli waris. Bilangan pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga
(1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8) dan duapertiga
(2/3).
Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran
prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara tentang ashlul-masalah ini.
Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat meninggalkan seorang seorang
istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah 1/6, maka agak sulit buat
kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan
besaran prosentase, maka lebih mudah untuk menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama
dengan 12,5 % dan 1/6 sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya adalah 12,5% +
16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit
teknik untuk mendapatkan hasilnya. Dengan metode hitungan sederana sebenarnya
mudah saja bagi kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana
"penyebutnya " tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita mengenal dua
istilah, yaitu pembilang dan penyebut. Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan
dipisahkan menggunakan garis miring. Pembilang adalah angka sebelum garis
miring dan penyebut dalam bilangan setelah garis miring.
Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka
bilangan 1 adalah pembilang dan bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga
dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan
pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya saja tanpa menjumlahkan
penyebutnya, asalkan penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4
+ 1/4 = 4/4.
Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus
menjumlahkan beberapa bilangan pecahan yang berbeda penyebutnya. Misalnya, 1/8
+ 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus menyamakan
dulu penyebutnya. Caranya dengan mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah
bilangan terkecil yang habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita
pilih bilangan 16, memang 16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6,
jadi angka 16 tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12
itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab
24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi kita sama dulu penyebut masing-masing
menjadi angka 12. Lalu pembilangnya kita sesuaikan agar nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi
penyebut yang telah disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu masing-masing
pembilang yang telah disesuaikan dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu
dijumlahkan.
§ Maka
bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi 24 dengan
8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya
adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
§ Bilangan 1/6 itu
kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24 dengan 6, hasilnya
adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya adalah 4.
Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 =
7/24. Kalau kita perhatikan, sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.
Metode Yang
Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan
prosentase, juga bukan dengan penyamaan pembilang dan penyebut, melainkan
dengan metode pencarian ashlul-masalah. Dalam hal ini, yang perlu
diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli
waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid
tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa
menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu
kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah
ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari
ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari
'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari
laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima
orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan
sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak
laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala
(hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah
qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok
masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua
laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh
lain, bila mayit meninggalkan lima
anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan
demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya
dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan.
Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan
bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat
dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak
mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya
berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya
seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau
delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan
pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada
yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan
mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara :
· angka-angka yang
mutamatsilah (sama)
· angka-angka yang
mutadaakhilah (saling berpadu)
· angka-angka yang
mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak
kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat
mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris
terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid
membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian
yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka
yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib
fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat
(4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya
terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan
seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok
masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya
terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per
tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab
angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil
angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya
bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan
kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui
pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1.
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah
(1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari
kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2.
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat
(1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua
atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3.
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh
seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh
kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat
(24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita
buat beberapa contoh.
Contoh : Kasus
Pertama
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami,
saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai
berikut:
· suami mendapat
setengah (1/2)
· saudara
laki-laki seibu seperenam (1/6)
· ibu sepertiga
(1/3)
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah
ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia
tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara
kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang
merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada
contoh tersebut adalah enam (6).
Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3/6
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1/6
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2/6
|
2
|
Paman kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk
semua ashhabul furudh tanpa sisa, dengan demikian maka paman tidak mendapat
apa-apa alias nol, lantaran statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun
dalam seandainya salah satu dari ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya
tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya (1/6), maka sisa itu menjadi milik
paman sebagai ashabah.
Contoh : Kasus
Kedua
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang
saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka
pembagiannya seperti berikut:
§ bagian istri
seperempat (1/4)
· ibu seperenam
(1/6)
· dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3)
· dan saudara
kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara
bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam
(1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua
belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan
bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).
Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3/12
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2/12
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4/12
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
|
3/12
|
3
|
Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh : Kasus
Ketiga
Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung
laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut:
· istri mendapat
seperdelapan (1/8)
· anak perempuan
setengah (1/2)
· cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per
tiga (2/3)
· bagian ibu
seperenam (1/6)
· Sedangkan
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta
waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara
seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai
kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini
dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
|
3/24
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
|
12/24
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
|
1/24
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
Penutup
[1] Al-Mustadrak ala
Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328
[3] Nailul Authar jilid 6
halaman 55
[4] Nailul Authar jilid 6
halaman 58
[5] Diantara fara' waris
antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan
dari anak perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan
termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam
daftar ahli waris penerima warisan.
[6] Fara' waris perempuan
adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki
adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
[7] Istilah
kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahuanhu.
Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus
kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam
hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : وورثه
أبواه.
Menurut
Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur
ulama, kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa
warisan yang diambil oleh suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak
menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya,
menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta
sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan
Khalifah Umar, kalau demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka
dalam kasus ini, suami yang ditinggal
mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi
hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3 dari
jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Perama
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Istri
|
1/4
|
1/4
|
Ibu
|
3/4
|
1/4
|
Ayah
|
2/4
|
Kasus Kedua
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Suami
|
1/2
|
3/6
|
Ibu
|
1/2
|
1/6
|
Ayah
|
2/6
|
Komentar
Posting Komentar